APAKAH KEBIJAKAN BISA DIPIDANA?

Sebelum kita bahas APAKAH KEBIJAKAN BISA DIPIDANA , YUK cari tau dulu pengertiannya dan sejarahnya.

Apa sih pengertian kebijakan menurut bahasa hukum : beleidsregel. khususnya dalam ilmu hukum  administrasi negara dipandang relatif mengalami keterlambatan dibandingkan dengan sarana -sarana administrasi lainnya seperti ketetapan (beschikking) dan peraturan (regeling) ataupun perencanaan (het plan).

Menurut KBBI arti kebijakan : 1. kepandaian; kemahiran; kebijaksanaan, 2. rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis besar dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan, dan cara bertindak

Menurut Willem Koninjbelt (Laica Marzuki, 1996: 4) tidak hanya badan atau pejabat tata usaha negara yang bersangkutan memiliki kewenangan dalam membuat peraturan kebijakan (beleidsregel), tetapi juga para atasan dari padanya. Hal dimaksud bermakna pada atasan badan atau pejabat tata usaha negara pembuat peraturan kebijakan (belidsregel) juga tidak memiliki kewenangan perundang-undangan (wetgeving bevoegheiden).

J. Mannoury (Laica Marzuki, 1996: 2) memandang peraturan kebijakan (beleidsregel) ibarat “speiegelrecht”: (hukum cermin), yakni hukum yang hadir dari pantulan cermin. Baginya, ”speigelrecht” bukan hukum melainkan sekedar mimpi hukum (….niat als recht, maar als spegeling van recht-op recht galijked-beschoul) J Van Der Hovven memandang peraturan kebijakan (beleidsregel) adalah “pseudowetgeving” (perundang-undangan semu), karena pembuatannya tidak didukung  oleh kewenangan perundang-undangan. Sementara para warga hampir-hampir tidak dapat membedakan peraturan kebijakan (beleidsregel) dari  peraturan perundang-undangan. Dari pandangan tersebut terdahulu nampak lebih moderat bila peraturan kebijakan dipandang sebagai hukum tetapi bukan peraturan perundang-undangan.

Dalam perkembangannnya peraturan kebijakan telah diterima sebagai suatu kebutuhan dalam mengisi praktek tata usaha negara dimana tindakannya tersebut tidak dituntun secara tuntas oleh suatu peraturan perundang-undangan yang ada.

Sesungguhnya keberadaan peraturan kebijakan tidak dapat dilepaskan dengan kewenangan bebas  dari pemerintah yang dikenal dengan  istilah freis ernessen. Dengan kata lain kewenangan  badan atau pejabat tata usaha negara mengeluarkan peraturan kebijakan didasarkan pada asas kebebasan bertindak yang dimilikinya (beleidsvrijheid atau beorde lingsvrijheid).

Apabila dihubungkan dengan negara kita, freis ernessen muncul bersamaan dengan pemberian tugas kepada pemerintah untuk merealisasikan tujuan negara seperti yang tercantum dalam alinea ke-empat pembukaan UUD 1945, yang menegaskan “untuk membentuk suatu pemerintahan negara Indonesia, yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah dara Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bnagsa dan ikut melaksankan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian yang abadi dan keadilan sosial.”

Oleh karena tugas utama pemerintah dalam konsepsi welfare state itu memberikan pelayanan bagi warga negara, maka muncul prinsip “pemerintah tidak boleh menolak untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat dengan alasan tidak ada peraturan perundangan yang mengaturnya.” Melainkan sebaliknya diharuskan menemukan dan memberikan penyelesaian sesuai prinsip freis ernessen yang diberikan kepadanya

Jadi bisa disimpulkan pengertian kebijakan : peraturan yang dibuat berdasarkan pertimbangan pertimbangan demi kepentingan hidup orang banyak untuk mewujudkan suatu tujuan tertentu yang dibenarkan oleh hukum.

Kalau penulis bisa simpulkan kebijakan itu bisa jadi turunan peraturan perundang undangan (petunjuk pelaksana dan petunjuk teknis). Dengan demikian antara peraturan kebijakan dan freis ernessen ibarat hubungan antara anak dan ibu. Atau dapat dikatakan peraturan kebijkan merupakan bentuk spesies dari kebijakan perwujudan freis ernessen

Meskipun kepada pemerintah diberikan kewenangan bebas atau freis ernessen, namun dalam suatu negara hukum penggunaan freis ernessen ini harus dalam  batas-batas yang dimungkinkan oleh hukum yang berlaku.

Menurut Muchsan (1981: 27) pembatasan penggunaan freis ernessen adalah:

  1. Penggunaan freis ernessen tidak boleh bertentangan dengan sistem hukum yang berlaku (kaidah hukum positif).
  2. Penggunaan freis ernessen hanya ditujukan demi kepentingan umum.

Menurut Belifante (1985: 84) bahwa peraturan kebijakan bukan merupakan peraturan perundang-undangan, akan tetapi di dalam banyak hal peraturan Kebijakan juga berwatak peraturan oerundang-undangan seperti mengikat secara umum di mana masyarakat tidak ada pilihan lain kecuali mematuhinya.

Menurut  7 ayat (1) UU 12/2011 mengenai jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan yang terdiri atas UUD 1945, Tap MPR, undang-undang/perppu, peraturan pemerintah, peraturan presiden, peraturan daerah provinsi, dan peraturan daerah kabupaten/kota

Menurut Pasal 8 UU 12/2011 peraturan perundang-undangan juga termasuk peraturan yang ditetapkan oleh MPR, DPR, DPR, DPD, DPRD provinsi/kabupaten/kota, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, KY, BI, menteri, badan, lembaga, atau komisi, gubernur, bupati, kepala desa/ atau yang setingkat

Ayat 2 Pasal 8 UU 12/2011 Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan.

YUK SEKARANG BAHAS APAKAH KEBIJAKAN BISA DIPIDANA???

Kebijakan adalah keputusan yang diambil oleh pejabat publik atau lembaga pemerintah dalam menjalankan fungsi pemerintahan. Kebijakan sering dianggap sebagai tindakan diskresioner (freies ermessen), di mana pejabat diberi kebebasan untuk memilih langkah tertentu dalam rangka mencapai tujuan pemerintahan

Dasar hukumnya terdapat pada Pasal 1 ayat (1) KUHP, yang menyatakan bahwa tidak ada perbuatan dapat dihukum kecuali berdasarkan undang-undang yang berlaku (asas legalitas). Selama kebijakan tersebut tidak melanggar undang-undang pidana, maka tidak ada dasar untuk mempidanakannya.

Dalam hal ini: Kebijakan yang diambil dalam koridor hukum dan tanpa unsur pidana tidak dapat dipidana, meskipun mungkin dianggap keliru atau tidak efektif

Kebijakan yang Mengandung Unsur Pidana :

Jika dalam pelaksanaan atau isi kebijakan tersebut terdapat:

Penyalahgunaan wewenang untuk keuntungan pribadi atau golongan (korupsi), sebagaimana diatur dalam UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Unsur pelanggaran hukum lainnya, seperti kejahatan lingkungan (UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup) atau pelanggaran HAM berat (UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM), maka kebijakan tersebut dapat dijadikan dasar untuk penyidikan pidana.

Contohnya:

Kasus BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia) menunjukkan bahwa keputusan kebijakan yang dianggap melanggar hukum bisa diproses pidana jika ada bukti penyalahgunaan wewenang

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK No. 25/PUU-XIV/2016) menegaskan bahwa pejabat publik tidak dapat dipidana atas diskresi yang dilakukannya selama bertindak sesuai peraturan perundang-undangan dan tidak ada niat jahat.

Jika seorang pejabat membuat kebijakan pengadaan barang/jasa tanpa mengikuti prosedur hukum atau Pejabat menentukan langsung pemenang Tender dan terdapat kerugian negara, maka ia dapat dikenakan pidana

Kebijakan yang menyebabkan pelanggaran HAM berat, seperti penghilangan paksa atau pembantaian, juga dapat dituntut pidana berdasarkan hukum nasional maupun internasional

Berbeda dengan kasus Tom lembong menurut Kebijakan Tidak Dapat Dikriminalisasi: Abdul Fickar Hadjar dari Universitas Trisakti menjelaskan bahwa kebijakan yang dibuat pejabat publik berdasarkan wewenang jabatannya tidak dapat dipidana, kecuali ada bukti penyalahgunaan jabatan seperti penerimaan gratifikasi atau keuntungan pribadi. Menurutnya, mempidanakan kebijakan berisiko menghalangi orang untuk menjadi pejabat publik Ranah Hukum Administrasi, Bukan Pidana: Pakar hukum Mudzakkir menegaskan bahwa pelanggaran terkait kebijakan seharusnya berada di ranah hukum administrasi, bukan pidana. Penetapan tersangka atas dasar kebijakan dinilai tidak sesuai dengan prinsip hukum.

4 komentar untuk “APAKAH KEBIJAKAN BISA DIPIDANA?”

  1. Budi Kurniawan SH

    Menurut pasal 50 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) terjemahan R. Soesilo, barangsiapa yang melakukan perbuatan untuk menjalankan peraturan perundang-undangan, tidak boleh dihukum. R. Soesilo selanjutnya menjelaskan bahwa menjalankan undang-undang tidak terbatas pada melakukan perbuatan yang diperintahkan oleh undang-undang, akan tetapi juga meliputi perbuatan yang dilakukan atas wewenang yang diberikan oleh suatu undang-undang.

    Jadi, apabila kebijakan yang diambil merupakan tindakan menjalankan undang-undang, dan sepanjang kebijakan tersebut tidak melampaui kewenangannya, maka suatu kebijakan tidak dapat dipidana.

    Dan apabila suatu keputusan kebijakan itu bersifat merugikan perusahan, orang lain atau perbuatan yang melanggar Hukum makan dapat di lakukan pidana

Tinggalkan Balasan ke admin Batalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top